Politik Adalah Identitas Sulawesi Tenggara

- 1 Desember 2021, 12:20 WIB
Kamaludin/penulis
Kamaludin/penulis /AsumsiSultra.Com

Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (Q.S 49:13)

Menjelang Pemilu dan Pilkada serentak 2024, pra kontestasi di provinsi Sulawesi Tenggara telah dimulai sejak awal tahun 2021, bullying dan rasisme sudah mulai bertebaran dimedia sosial. Konsep sukuisme kembali digaungkan, dan mitos BIO dan ODE terus diperkuat dan diyakini. Solah sama dengan ramalan Jayabaya tentang Notonegoro, masyarakat mempercayai ramalan tersebut karena akan tersirat siapa yang akan memimpin Indonesia (baca di lingkarkediri.pikiranrakyat.com). Sehingga ide dan gagasan seolah sudah tak lagi menjadi penting.

Di Sulawesi Tenggara sendiri sudah bukan hanya dalam konteks politik, dalam kehidupan bersosial masyarakat masih saja ada terjadi persoalan sukuisme, salah satu contoh perebutan wilayah pengolahan lahan pertanian antara beberapa oknum pribumi yang tergabung dalam organisasi kedaerahan dan warga transmigrasi di Desa Aepodu Kecamatan Punggaluku Kabupaten Konawe Selatan.

Kembali kedalam konteks politik, kontestasi yang seharusnya tempat saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, akan tetapi  malah menjadi ajang saling menjatuhkan lawan dengan isu SARA yang terkesan menunjukkan sifat yang destruktif bagi pembangunan sebuah bangsa dan daerah.

Menurut Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan.

Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi-alat untuk menggalang politik–guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”. Dan tentunya sangatlah cocok dengan situasi politik sekarang ini. Dimana wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politiknya yang notabene berbeda identitasnya melalui berbagai serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya.

Semoga melalui tulisan ini, dapat sedikit mencerahkan dan menambah pemahaman bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Bahwa kedewasaan kita dalam menjaga dan merawat perbedaan masih begitu dangkal, yang setiap saat selalu saja masih dirong-rong kekhilafan dan syahwat kekuasaan.

Perbedaan suku, ras dan budaya adalah sesuatu yang harus kita junjung tinggi, sebagaimana semboyan kita dalam pancasila berbeda-beda tetap satu. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Kabupaten Konawe saya diajarkan  untuk menjunjung tinggi nilai budaya masyarakat “ inae kona sara iyee pine sara, inae lia sara iyee pinekasara”, artinya siapa yang hidup menurut ketentauan adat akan dihargai, tetapi siapa yang melanggar adat akan diberi sanksi.

Penulis : Kamalludin

Penulis merupakan warga kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara yang aktif mengamati setiap momen politik atau Pemilu.

Halaman:

Editor: Muh. Rifky Syaiful Rasyid

Sumber: Tim


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah